Regulatory sandbox, metode ini memungkinkan perusahaan untuk menguji produk atau layanan baru dengan jumlah pelanggan yang terbatas serta...
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah unit yang penting di rumah sakit. Seringkali pasien yang dirawat di IGD mengalami kepadatan ruangan IGD karena pelayanan yang lama, dan waktu tunggu yang lama yang akan berdampak negatif terhadap kepuasan pasien. Maka dari itu dibutuhkan sistem triase untuk mengatur itu semua.
Triase adalah sistem yang digunakan pada IGD untuk menggolongkan tingkat kegawatan kondisi pasien untuk melakukan perawatan sehingga dapat merawat pasien sebanyak dan seefisien mungkin. Target dari penerapan sistem triase adalah untuk meminimalkan kematian di rumah sakit dan untuk mengurangi waktu, lama tinggal, dan sumber daya yang digunakan.
Kata triase berasal dari kata kerja Perancis (trier) yang berarti memilih atau menyortir. Triase pertama kali dikembangkan pada abad ke-18 oleh Baron Dominique Jean Larrey, Kepala Ahli Bedah Pengawal Kekaisaran Napoleon. Larrey menetapkan aturan yang jelas untuk menyortir pasien untuk pengobatan yang memperlakukan mereka yang terluka parah terlebih dahulu tanpa memperhatikan pangkat atau perbedaan maka mereka yang terluka dalam derajat yang lebih rendah dapat menunggu terlebih dahulu.
Algotitma ESI pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1990. Algoritma triase terdiri dari empat poin keputusan di mana perawat triase akan menanyakan pertanyaan spesifik.
Pertama, pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa kondisi (ESI level 1 dan 2) diidentifikasi tidak stabil pasien biasanya ditugaskan ke ESI triase level 1, misalnya, dengan adanya hemodinamik atau ketidakstabilan pernapasan. Pasien dengan potensi mengancam jiwa memiliki gejala misalnya, nyeri dada pada sindrom koroner akut atau kehilangan kesadaran, dan juga mereka dengan sakit parah, gangguan kejiwaan, atau keadaan keracunan, ditugaskan ke tingkat triase 2. Sisanya level (3 hingga 5) ditentukan oleh sumber daya yang diharapkan kebutuhan dan tanda vital. Sumber daya yang dimaksudkan adalah layanan seperti sinar-X dan pemberian obat intravena yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencapai keputusan tentang bagaimana lanjutan tindakannya.
ATS adalah skala 5 poin yang digunakan di seluruh Australia dan Selandia Baru untuk menyortir pasien berdasarkan urgensi klinis. Juga, itu adalah titik awal untuk pengembangan MTS di Inggris dan CTAS di Kanada. Pendekatan standar ATS untuk triase telah terbukti memfasilitasi akses ke layanan perawatan darurat berdasarkan urgensi terlepas dari demografi pasien. ATS juga memberikan batasan waktu berapa lama  pasien dapat menunggu sampai mendapatkan pertolongan pertama.
Untuk memudahkan trier (orang yang melakukan triase) mengenali kondisi pasien, maka di ATS terdapat kondisi-kondisi tertentu yang menjadi deskriptor klinis seperti yang tertera di tabel berikut :
Penerapan konsep triase di Indonesia pada sebagian besar rumah sakit masih menggunakan konsep triase bencana (Merah, Kuning, Hijau, dan Hitam). Selain belum kuat dari aspek sosialisasi dan pelatihan, pelaksanaan triase di Indonesia juga masih lemah dari aspek ilmiah. Minimnya penelitian dan publikasi dibidang gawat darurat dapat menyebabkan kerancuan dalam menerapkan metode triase, apakah tetap menggunakan metode konvensional, menyadur sistim dari luar negeri setelah dilakukan uji validasi dan uji reliabilitas, atau membuat sistim sendiri yang sesuai dengan karakteristik pasien-pasien di Indonesia.
Menurut Kemenkes  pada PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2015 terdapat standar untuk rumah sakit melakukan pelayanan gawat darurat. Berikut diantaranya :
Baca Juga : Manajemen Keselamatan Pasien di Fasilitas Kesehatan
Sesuai dengan peraturan dari Kemenkes bahwa dalam penerapan pelayanan gawat darurat harus disertai dengan dokumentasi. Karena pendokumentasian ini nantinya dapat dijadikan sebagai bukti hukum dari proses perawatan dan mendukung evaluasi kualitas perawatan pasien. Dokumentasi pelayanan gawat darurat dapat memberi bukti yang berharga tentang kondisi pasien dan pengobatannya dan dapat bersifat kritis dalam menentukan standar perawatan apakah telah dipenuhi atau tidak.
Ketika masih menggunakan sistem konvensional proses pendokumentasian ini akan memakan waktu. Selain itu, ketika Anda ingin mengakses informasi pada periode waktu tertentu juga akan kesulitan karena harus membuka-buka file lama.
Dengan menggunakan SIMRS Trustmedis akan sangat membantu Anda untuk membuat laporan tindakan pada IGD. Laporan yang dibuat dapat mencakup hal seperti ; no. rekam medis, nama pasien, dokter yang menangani, tindakan yang dilakukan, waktu tindakan, serta biaya.
Saat Anda ingin melihat laporan ini, Anda tidak perlu susah-susah cukup ketik pada waktu kapan Anda ingin melihat laporan tindakan dan juga bias di sortir berdasarkan cara pembayaran, siapa yang melaksanakan, serta tindakan apa yang dilakukan.
Sangat memudahkan bukan? KLIK tombol dibawah ini untuk ajukan demo dan coba aplikasi kami GRATIS selama 14 hari!
Baca Juga : Manajemen Instalasi Gawat Darurat Lebih Efektif dengan SIMRS Trustmedis
Regulatory sandbox, metode ini memungkinkan perusahaan untuk menguji produk atau layanan baru dengan jumlah pelanggan yang terbatas serta...
Perlu adanya pembekalan kompetensi kepada tim IT fasilitas kesehatan, sebagai upaya percepatan transformasi digital kesehatan di Indonesia.
Clinical pathway mencakup proses pengambilan keputusan yang dibagi antara pasien, keluarga, dan tim medis untuk memastikan bahwa perawatan....